Mukadimah
Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati.
Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Islam mengajarkannya. Akan tetapi dalam buku ini, hanya dibahas tentang manfaat menikah, hal-hal yang berkaitan dengan meminang (khitbah), akad nikah, rukun-rukun, dan syarat-syaratnya serta pembahasan tentang pesta perkawinan atau walimatul ‘urs. Semoga kita bisa mengambil manfaat dari pembahasan-pembahasan tersebut.
Nikah mempunyai manfaat yang sangat besar diantaranya:
Dan masih banyak manfaat besar lainnya dengan adanya pernikahan yang syar’i, mulia dan bersih yang tegak berlandaskan Al Qur’an dan As Sunnah. Menikah adalah ikatan syar’i yang menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Berwasiatlah tentang kebaikan kepada para wanita, sesungguhnya mereka bagaikan tawanan di sisi kalian. Kalian telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah (akad nikah, pent)” Akad nikah adalah ikatan yang kuat antara suami dan istri.
Allah berfirman :
“Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.(QS.4:21) yaitu akad (perjanjian) yang mengharuskan bagi pasangan suami istri untuk melaksanakan janjinya.
Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. (QS. Al-Maidah:1)
Rasulullah bersabda :
“Apabila seorang diantara kalian mengkhitbah (meminang) seorang wanita, maka jika dia bisa melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Dalam hadits lain:
“Lihatlah dia, sebab itu lebih patut untuk melanggengkan diantara kalian berdua” (HR. At-Tirmidzi, 1087) Hadits tersebut menunjukkan bolehnya melihat apa yang lazimnya nampak pada wanita yang dipinang tanpa sepengetahuannya dan tanpa berkhalwat (berduaan) dengannya. Para ulama berkata: “Dibolehkan bagi orang yang hendak meminang seorang wanita yang kemungkinan besar pinangannya diterima, untuk melihat apa yang lazimnya nampak dengan tidak berkholwat (berduaan) jika aman dari fitnah”.
Dalam hadits Jabir, dia berkata: “Aku (berkeinginan) melamar seorang gadis lalu aku bersembunyi untuk melihatnya sehingga aku bisa melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya, lalu aku menikahinya” (HR. Abu Dawud, no. 2082). Hadits ini menunjukkan bahwa Jabir tidak berduaan dengan wanita tersebut dan si wanita tidak mengetahui kalau dia dilihat oleh Jabir. Dan tidaklah terlihat dari wanita tersebut kecuali yang biasa terlihat dari tubuhnya.
Hal ini rukhsoh (keringanan) khusus bagi orang yang kemungkinan besar pinangannya diterima. Jika kesulitan untuk melihatnya, bisa mengutus wanita yang dipercaya untuk melihat wanita yang dipinang kemudian menceritakan kondisi wanita yang akan dipinang. Berdasarkan apa yang diriwayatkan bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ummu Sulaim untuk melihat seorang wanita (HR. Ahmad).
Barangsiapa yang diminta untuk menjelaskan kondisi peminang atau yang dipinang, wajib baginya untuk menyebutkan apa yang ada padanya dari kekurangan atau hal lainnya, dan itu bukan termasuk ghibah. Dan diharamkan meminang dengan ungkapan yang jelas (tashrih) kepada wanita yang sedang dalam masa ‘iddah (masa tunggu, yang tidak bisa diruju’ oleh suami atau ditinggal mati suaminya, pent). Seperti ungkapan: “Saya ingin menikahi Anda”.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala : “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita wanita itu dengan sindiran” (QS. 2: 235) Dan dibolehkan sindiran dalam meminang wanita yang sedang dalam masa ‘iddah. Misalnya dengan ungkapan: “Sungguh aku sangat tertarik dengan wanita yang seperti anda” atau “Dirimu selalu ada dalam jiwaku”.
Ayat tersebut menunjukkan haramnya tashrih, seperti ungkapan: “Saya ingin menikahi anda” karena tashrih tidak ada kemungkinan lain kecuali nikah. Maka tidak boleh memberi harapan penuh sebelum habis masa ‘iddahnya. Diharamkan meminang wanita pinangan saudara muslim lainnya. Barangsiapa yang meminang seorang wanita dan diterima pinangannya, maka diharamkan bagi orang lain untuk meminang wanita tersebut sampai dia diijinkan atau telah ditinggalkan.
Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah seorang laki-laki meminang wanita yang telah dipinang saudaranya hingga dia menikah atau telah meninggalkannya” (HR. Bukhari dan Nasa’i).
Dalam riwayat Muslim: “Tidak halal seorang mukmin meminang wanita yang telah dipinang saudaranya hingga dia meninggalkannya”. Dalam hadits Ibnu Umar: “Janganlah kalian meminang wanita yang telah dipinang saudaranya” (Muttafaqun ‘alaih). Dalam riwayat Bukhari: “Janganlah seorang laki-laki meminang di atas pinangan laki-laki lain hingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau dengan seijinnya”.
Hadits-hadits tersebut menunjukkan atas haramnya pinangan seorang muslim di atas pinangan saudaranya, karena hal itu menyakiti peminang yang pertama dan menyebabkan permusuhan diantara manusia dan melanggar hak-hak mereka. Jika peminang pertama sudah ditolak atau peminang kedua diijinkan atau dia sudah meninggalkan wanita tersebut, maka boleh bagi peminang kedua untuk meminang wanita tersebut. Sesuai dengan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hingga dia diijinkan atau telah ditinggalkan”. Dan ini termasuk kehormatan seorang muslim dan haram untuk merusak kehormatannya.
Sebagian orang tidak peduli dengan hal ini, dia maju untuk meminang seorang wanita padahal dia mengetahui sudah ada yang mendahului meminangnya dan telah diterima oleh wanita tersebut. Kemudian dia melanggar hak saudaranya dan merusak pinangan saudaranya yang telah diterima. Hal ini adalah perbuatan yang sangat diharamkan dan pantas bagi orang yang maju untuk mengkhitbah wanita yang telah didahului oleh saudaranya ini untuk tidak diterima dan dihukum, juga mendapat dosa yang sangat besar.
Maka wajib bagi seorang muslim untuk memperhatikan masalah ini dan menjaga hak saudaranya sesama muslim. Sesungguhnya sangat besar hak seorang muslim atas saudara muslim lainnya. Janganlah meminang wanita yang sudah dipinang saudaranya dan jangan membeli barang yang dalam tawaran saudaranya dan jangan menyakiti saudaranya dengan segala bentuk hal yang menyakitkan.
Disunnahkan ketika hendak akad nikah, memulai dengan khutbah sebelumnya yang disebut khutbah Ibnu Mas’ud (khutbatul hajjah, pent) yang disampaikan oleh calon mempelai pria atau orang lain diantara para hadirin. Dan lafadznya sebagai berikut : “Sesungguhnya segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya, serta kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan keburukan amal usaha kami.
Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya”. (HR. Imam yang lima dan Tirmidzi menghasankan hadits ini).
Setelah itu membaca tiga ayat Al-Qur’an berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (QS. Ali ‘Imran: 102). “Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An Nisaa’: 1)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (QS. Al-Ahzab: 70-71).
Adapun rukun-rukun akad nikah ada 3, yaitu :
Syaikhul islam Ibnu Taymiah dan muridnya, Ibnul Qoyyim, menguatkan pendapat bahwa nikah itu sah dengan segala lafadz yang menunjukkan arti nikah, tidak terbatas hanya dengan lafadz Ankahtuka atau Jawwaztuka. Orang yang membatasi lafadz nikah dengan Ankahtuka atau Jawwaztuka karena dua lafadz ini terdapat dalam Al Qur’an. Sebagaimana firman Allah Ta’ala : “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan
terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia” (QS. Al-Ahzab: 37)
Dan firman-Nya yang lain : “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu” (QS. An-Nisa’:22) Akan tetapi kejadian yang disebutkan dalam ayat tersebut tidak berarti pembatasan dengan lafadz tersebut (tazwij atau nikah). Wallahu a’lam. Dan akad nikah bagi orang yang bisu bisa dengan tulisan atau isyarat yang dapat difahami. Apabila terjadi ijab dan qobul, maka sah-lah akad nikah tersebut walaupun diucapkan dengan senda gurau tanpa bermaksud menikah (Jika terpenuhi syarat dan tidak ada penghalang sah-nya akad, pent). Karena Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada 3 hal yang apabila dilakukan dengan main-main maka jadinya sungguhan dan jika dilakukan dengan sungguhsungguh maka jadinya pun sungguhan. Yaitu: talak, nikah dan ruju’” (HR. Tirmidzi, no. 1184).
Adapun syarat-syarat sahnya nikah ada 4, yaitu: